Mediakompasnews.Com – Kalimantan Barat – Di pedalaman Kalimantan Barat, ribuan warga Kecamatan Ketunggau Hulu dan Ketunggau Tengah masih hidup dalam gelap. Sejak 2023, proyek Listrik Desa (Lisdes) digembar-gemborkan akan menyalakan listrik hingga pelosok, namun hingga Oktober 2025, sebagian desa belum tersambung. Pohon sawit ditebang, lahan dibersihkan, tiang listrik berdiri, tapi kabel tetap tak menyala. Sementara media dan pihak PLN menampilkan angka-angka megah tentang ribuan desa yang telah menikmati listrik—nyatanya, realita di lapangan sangat berbeda. Minggu (19/10/2025).
Beberapa desa bahkan sudah memiliki jaringan tiang dan kabel hampir rampung, tetapi listrik tak kunjung menyala akibat kekurangan mesin dan peralatan utama. Desa Sebetung Paluk, Idai, Semareh, dan Nanga Bayan menjadi contoh frustrasi masyarakat yang telah berkorban dengan membersihkan lahan, menebang pohon sawit, dan menyiapkan jalur tiang listrik demi proyek ini
“Kami sudah mengorbankan pohon sawit yang tinggal panen agar desa kami segera terang. Tapi hasilnya nihil, listrik tak kunjung menyala,” ujar warga Desa Semareh.
Sementara itu, berbagai klaim resmi menyebut capaian signifikan: PLN siap menyalurkan listrik ke puluhan desa di Kalbar, menargetkan 60 desa tersambung dengan investasi Rp 130 miliar, dan mengklaim 83.240 desa telah menikmati listrik secara nasional. Program PMN diklaim menjangkau 4.700 desa, dan rasio elektrifikasi nasional tercatat 94,23% hingga akhir 2024. Namun di Ketunggau, fakta lapangan menunjukkan klaim tersebut jauh dari realita.
Kekurangan mesin dan peralatan utama menjadi hambatan, namun warga menilai ini bukan alasan. Janji penyelesaian proyek oleh anggota DPR RI, TIM Bapak GMS, hingga Agustus 2025 pun belum terealisasi. Masyarakat kecewa karena koordinasi dan transparansi minim, bahkan kepala desa pun tidak mendapat laporan resmi terkait kendala dan progres proyek.
Masyarakat menyoroti minimnya koordinasi, sosialisasi, dan transparansi dari PLN maupun pihak pelaksana proyek. Tidak ada penjelasan langsung kepada kepala desa maupun warga terkait kendala teknis atau rencana penyelesaian. Padahal wilayah ini strategis, berada di perbatasan Indonesia–Malaysia, seharusnya menjadi prioritas nasional dalam pemerataan pembangunan energi.
“Sikap PLN yang tidak berkoordinasi dan tidak bertanggung jawab menimbulkan kesan proyek ini diabaikan, padahal menyangkut kepentingan warga perbatasan,” tegas seorang warga.
Pernyataan Pemerintah vs Realita
Menteri BUMN sekaligus Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menegaskan pada 12 Agustus 2025 bahwa sekitar 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum dilistriki akan segera dialiri listrik, sebagai bagian dari komitmen strategis pemerintah untuk memastikan seluruh lapisan masyarakat, termasuk di pelosok, menikmati layanan listrik 24 jam. Namun kenyataannya, desa-desa di Ketunggau Hulu dan Tengah masih menunggu. Warga menegaskan, mereka tidak ingin mendengar alasan, tetapi menuntut tindakan nyata.
Tuntutan Serius Masyarakat
Kini, tuntutan warga jelas: audit penggunaan anggaran, pertanggungjawaban pihak pelaksana dan vendor, laporan transparansi, serta penyelesaian jaringan listrik agar hak atas energi terpenuhi. Bagi warga Ketunggau, proyek Lisdes bukan sekadar infrastruktur—ini soal terang yang dijanjikan, tapi tak kunjung tiba.
Penyelesaian proyek ini bukan sekadar soal infrastruktur. Fungsi jaringan listrik berdampak langsung pada pemasukan negara melalui transaksi dan pajak listrik. Ketika jaringan beroperasi dan kWh meter terpasang, masyarakat akan membeli token listrik, yang otomatis menambah pemasukan negara.
Kini, warga Ketunggau hanya berharap janji pemerintah bukan sekadar angka di media. Mereka menuntut bukti nyata: listrik menyala, hak terpenuhi, dan proyek Lisdes terselesaikan. Di pelosok negeri yang gelap ini, rakyat ingin merasakan terang—bukan sekadar janji.
(Willo)