Mediakompasnews.Com – Kalimantan Barat – Di tengah gembar-gembor Hari Pelanggan Nasional yang diklaim sebagai bentuk kedekatan PLN dengan masyarakat, kenyataan di lapangan justru berkata lain.
Hari Pelanggan Nasional semestinya jadi momen kedekatan antara PLN dan rakyat. Tapi di Ketungau, yang menyala bukan lampu — melainkan rasa kecewa. Ungkap Perwakilan Masyarakat Ketunggau Kamis (30/10/25).
Warga di empat desa di Kecamatan Ketungau Hulu dan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat — Sebetung Paluk, Idai, Nanga Bayan, dan Semareh — kini hidup dalam kegelapan, meski jaringan listrik di wilayah mereka hampir rampung 100%.
Tiang listrik berdiri rapi di sepanjang jalan desa, tapi kabelnya tak berdaya. Di bawahnya, anak-anak bermain di tanah becek — menatap sesuatu yang belum pernah mereka lihat : terang di malam hari.
Masalah klasik yang menjadi alasan keterlambatan adalah tidak tersedianya mesin penunjang arus listrik. Ironisnya, alih-alih pihak PLN yang memberikan klarifikasi dan informasi resmi, justru masyarakat yang harus mondar-mandir mencari penjelasan.Kondisi ini memperlihatkan buruknya sistem pelayanan, lemahnya tanggung jawab, serta minimnya profesionalisme PLN dalam menjalankan proyek vital yang sudah dianggarkan sejak tahun 2023.
Kesenjangan Sosial yang Mencolok : Formalitas Hari Pelanggan vs Realita Lapangan
Di kota, PLN merayakan pelanggan dengan senyum dan bunga. Di Ketungau, pelanggan menyalakan pelita dengan air mata.
Fenomena ini menimbulkan kesan bahwa kesenjangan sosial antara PLN dan masyarakat seolah sengaja dibiarkan.Di media besar dan media sosial, PLN tampil dengan citra ramah dan peduli pelanggan. Namun di lapangan, masyarakat justru dihadapkan pada tembok birokrasi yang dingin dan sulit ditembus.
Perwakilan warga yang datang ke kantor PLN UP3 Sanggau untuk menanyakan penyelesaian jaringan malah dipimpong dan diabaikan.
“Kami datang ingin menanyakan kapan jaringan kami selesai, tapi malah disuruh ke PLN UP2K Kapuas Raya. Pas sampai sana, disuruh balik lagi ke UP3 Sanggau. Sampai di kantor, alasannya sedang rapat,” ujar salah satu perwakilan warga Ketungau dengan nada kecewa.
Rapat yang disebut-sebut berlangsung berjam-jam dijadikan alasan untuk tidak menemui pelanggan. Padahal, keluhan warga bersifat mendesak dan menyangkut kepentingan publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar : apakah rapat yang digelar berulang-ulang itu benar-benar untuk evaluasi pelayanan, atau sekadar rutinitas tanpa hasil nyata?
“Kami datang ingin menanyakan kapan jaringan kami selesai,” ujar warga Ketungau. “Tapi malah disuruh ke sana-sini. Rasanya seperti kami bukan pelanggan, tapi orang yang minta tolong.”
Dari Sanggau ke Pontianak : Tak puas di daerah, warga Ketungau mendatangi PLN UID Kalbar di Pontianak. Namun harapan kembali pupus — mereka diminta membuat surat audiensi yang bisa memakan waktu hingga tiga bulan. Sementara listrik tak kunjung menyala.”
“Kami datang dengan biaya sendiri, tidak dibiayai pemerintah. Tapi di Pontianak malah diminta buat surat audiensi dulu, dan prosesnya bisa sampai tiga bulan,” ujar salah satu warga, mengutip jawaban Humas PLN UID Kalbar.
“Warga hanya bisa saling pandang. Antara lelah dan tidak percaya, bahwa untuk menyalakan lampu saja, mereka harus menempuh perjalanan berhari-hari.”
Sikap tersebut dinilai masyarakat sebagai bentuk ketidakhadiran empati dan pelayanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab PLN sebagai perusahaan negara.
Masalah Mesin : Bukti Lemahnya Perencanaan dan Koordinasi
Masalah utama yang menghambat realisasi jaringan di empat desa itu adalah keterlambatan mesin penunjang arus listrik. Padahal, jaringan kabel dan tiang sudah terpasang sejak 2023, bahkan dinyatakan rampung secara fisik.
Seharusnya, pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek, PLN sudah menyiapkan seluruh komponen penting, termasuk mesin utama.Kegagalan mengantisipasi kebutuhan mesin ini menjadi bukti nyata lemahnya perencanaan dan tidak adanya manajemen target kerja yang jelas.
Hingga kini, PLN belum memberikan klarifikasi resmi maupun transparansi progress penyelesaian proyek.Jawaban “masih dalam proses” seolah menjadi tameng klasik untuk menutupi lambatnya kinerja, sementara waktu terus berjalan lebih dari dua bulan tanpa kejelasan.
“Kalau proyek tahun 2023 saja belum selesai sampai 2025, bagaimana mau pemerataan listrik di Kalimantan Barat? PLN seperti tidak punya target kerja yang pasti,” kata salah satu tokoh masyarakat Ketungau.
Desa Perbatasan yang Justru Dibiarkan Gelap
Mungkin listrik akan datang suatu hari nanti. Tapi sebelum cahaya itu menyala, warga Ketungau sudah lebih dulu belajar apa arti “gelap” yang sesungguhnya.
Keempat desa tersebut — Sebetung Paluk, Idai, Nanga Bayan, dan Semareh — berada di wilayah perbatasan Indonesia–Malaysia.Artinya, kawasan ini memiliki nilai strategis dan seharusnya menjadi prioritas utama pemerataan listrik nasional.
Namun kenyataannya, wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga itu justru masih terisolasi dalam gelap. Bahkan Desa Sungai Kelik yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Malaysia, dan Desa Neraci Jaya yang telah dianggarkan sejak 2023, hingga kini belum satu pun tiang jaringan masuk.
“Sungai Kelik itu di perbatasan Malaysia. Tapi kok bukan diprioritaskan, malah dibiarkan mangkrak. Ini memalukan,” ujar seorang warga setempat.
Masyarakat menilai, jika wilayah perbatasan saja diabaikan, maka slogan ‘Pemerataan Listrik untuk Seluruh Indonesia’ hanya tinggal retorika.
Selain itu, masyarakat juga menyoroti bahwa keempat desa yang hampir selesai justru seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, karena progresnya sudah mendekati rampung dan sangat penting bagi kebutuhan warga di perbatasan.
📞 PLN Sulit Dihubungi : Kades dan Aparat Desa Ikut Frustrasi
Bukan hanya warga, kepala desa dan aparat di empat wilayah tersebut juga kesulitan menjalin komunikasi dengan pihak PLN. Upaya untuk menanyakan kejelasan status jaringan seringkali berujung tanpa hasil.
“Kami sudah berulang kali menghubungi pihak PLN, baik lewat telepon maupun WhatsApp, tapi tidak direspons. Kami ingin tahu kapan jaringan ini aktif, tapi seperti berbicara dengan tembok,” ungkap salah satu kepala desa yang enggan disebutkan namanya.
Minimnya komunikasi ini membuat aparat desa bingung bagaimana menjelaskan kepada masyarakat yang terus menuntut kepastian. Kondisi tersebut menegaskan bahwa PLN tidak hanya lamban bekerja, tetapi juga tertutup terhadap publik.
Rakyat Ketungau Menuntut Keadilan dan Transparansi
Kini masyarakat Ketungau menuntut tanggung jawab dan kejelasan dari PLN. Mereka meminta penjelasan resmi terkait keterlambatan mesin, jadwal penyelesaian proyek, serta evaluasi internal terhadap kinerja PLN di Kalimantan Barat.
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan biarkan jaringan mangkrak terus. Kami di perbatasan juga bagian dari Indonesia yang berhak hidup terang,” tegas salah satu tokoh masyarakat.
PLN Harus Kembali ke Esensi Pelayanan Publik
PLN adalah badan usaha milik negara yang dibangun bukan semata untuk mengejar target bisnis, melainkan untuk menjalankan amanat konstitusi: menerangi dan menyejahterakan rakyat. Namun, kenyataan di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa semangat itu kian memudar. Ketika masyarakat di perbatasan harus datang sendiri memperjuangkan hak atas listrik, sementara proyek tahun 2023 masih terbengkalai hingga 2025, pertanyaannya sederhana — di mana letak kehadiran negara melalui PLN?
Pemerintah pusat melalui Kementerian BUMN dan DPR RI Komisi VI diharapkan segera turun tangan mengaudit proyek jaringan listrik di wilayah Ketungau dan sekitarnya. Karena jika dibiarkan berlarut, slogan “Indonesia Terang” hanya akan menjadi ilusi, sementara rakyat di perbatasan tetap hidup dalam gelap — menunggu janji yang tak kunjung menyala.
Kini, yang tersisa hanyalah kabel yang menggantung — dan harapan yang terus menunggu nyala.
Pertemuan demi pertemuan digelar, tapi tak satu pun menjawab pertanyaan paling sederhana : kapan lampu menyala?
Barangkali suatu hari nanti listrik itu akan menyala. Tapi sebelum cahaya datang, warga Ketungau sudah lebih dulu mengerti : gelap tidak selalu soal malam — kadang tentang janji yang tak ditepati.
Karena di Ketungau, gelap bukan sekadar ketiadaan cahaya — tapi bukti bahwa janji pelayanan publik belum benar-benar menyala.
Entah kapan, tapi masyarakat Ketungau masih menatap gelap… sambil bertanya: kapan negara benar-benar hadir?
Di tengah janji besar tentang pemerataan energi nasional, kisah Ketungau seharusnya menjadi cermin bagi PLN dan pemerintah : bahwa pembangunan bukan hanya soal proyek yang selesai di atas kertas, tapi tentang cahaya yang benar-benar sampai ke rumah rakyat.
(Willo)
































